Tuesday, November 07, 2006,1:52 PM
BuKu TuliS SunyI
“Kriiiiing!â€‌
Bel sekolah menjerit, menyebar ke segenap ruang, memantul ke setiap kelas, masuk ke telinga para murid lalu keluar lewat mulut-mulut kecil mereka menjadi sorak –sorai. Entah kenapa bunyi bel hari ini terdengar berbeda di telinga Rano. Ia seperti pernah mendengarnya, tetepi entah kapan.
Rano.
Ia tak berseragam sekolah, pakaiannya yang bercampur debu adalah kaus putih yang telah berubah cokelat, serta celana pendek yang seharusnya terlihat sudah kotor, namun tersamar karena warnanya yang hitam.
Rano.
Ia tengah asyik memperhatikan sebuah bangunan bertingkat tiga yang kokoh, berbentuk leter-u dengan jendela-jendela yang berjajar teratur. Atapnya yang cokelat kemerahan berkilau oleh sinar pagi sang mentari. Di bawah, taman yang asri menghiasi halaman dengan dua buah tempat bermain di antara pepohonan yang rindang. Sebagian dinding di lantai dasar dilukisi lukisan-lukisan lucu. Rano sering membayangkan ia berada di situ, berangkat pagi-pagi, berseragam rapi, bermain bersama teman-teman sebaya.
Namun, ia tak sedang duduk di atas bangku-bangku bagus yang diperuntukkan bagi para murid sekolah. Ia tengah duduk di sini, di luar gerbang samping sebuah Sekolah Dasar Swasta yang megah, dekat ruangan kelas satu, pada sebuah tempat di jalanan agak jauh dari keriuhan pedagang kakilima yang tak bisa berjualan di halaman sekolah karena pintu gerbang yang tertutup rapat. Ia dudukdi atas tanah, tak beralas. Matanya lekat memandang kesatu titik: jendela sekolah. Telinganya menangkap hampir setiap suara yang terdengar dari ruang-ruang kelas.
Rano.
Ia tak menyandang tas bergambar tokoh kartun terkenal, takbersepatu, tak membawa seperangkat alat tulis lengkap.Yang ada di tangannya hanyalah sepotong pensil dan selembar kertas polos. Ia mencoret-coret sesuatu pada kertasnya, namun entah apa, ia sendiri tak mengerti.
Sejurus kemudian...
Kaki-kaki kecil bersepatu mahal itu berhamburan darisela-sela daun pintu berwarna cokelat tua . Mereka berlari, berlari, terus berlari menuju halaman sekolahyang berumput tipis. Puluhan, bahkan ratusan murid sekolaih itu berdesakan ke luar gerbang, terus berlari. Rano takjub melihatnya, kemudian terkejut. Mereka menuju ke arahnya! Kaki-kaki mereka mengepulkan asap dari debu jalanan, namun ternyata mereka hanya melintas di depan Rano yang terus memandangi mereka tak berkedip.Setelah semua melewatinya, tiba-tiba langit gelap. Kemudian anak-anak sekolah itu, dari mulai yang paling kecil hingga yang paling besar, berhenti berlari dan berbalik ke arahnya. Semua terdiam, menghadap Rano dan menatapnya dari kejauhan. Lalu satu orang dari mereka melambai ke arahnya.
“Rano! Ayo sini!â€‌
Itu suara anak perempuan, Rano menoleh ke kanan-kiri, kemudian ke belakang. Mungkin anak perempuan itu memanggil orang lain. Namun di belakang sana hanya ada sekelompok pedagang yang tampak tak acuh. Ya, benar, ia memanggil-manggil dirinya. Kemudian menyusul tiga orang ikutmelambai dan memanggil, lalu lima, lalu tujuh, lalu belasan, lalu puluhan, hingga akhirnya semua ikut melambaidan memanggil-manggil.
“Rano!Ayo sini!
“Rano!Ayo sini!
Rano! Ayo sini!â€‌
Suara-suara itu menggema, menggemuruh, hingga Rano terpana. Ia memejamkan matanya, merasakan suara-suara itu mengalir di telinganya, di jiwanya, mengalun lembut.
Rano membuka mata.
Atap seng bergelombang, itu yang pertama kali dilihatnya. Ia merasakan hawa panas ruangan itu memeluknya, gerah.Lalu pandangannya berkeliling menyapu dinding-dinding triplek, lantai semen, tikar lusuh, lampu yang tek menyala tergantung di langit langit, dan tumpukkan pakaian di sudut sana. Ini mungkin tengah malam.Rano menutupkan kedua telapak tangannya ke wajah yangberkeringat.
Mimpi itu lagi
.
############
Mak menatap anak semata wayangnya, kamar ini terasa lebih panas dari biasanya.. Pandangannya lembut, walau menyiratkan kelelahan. Perlahan jemarinya membelai rambut panjang Rano yang sedang pulas tidur siang. Jiwa keibuannya mengatakan bahwa anaknya lelah, sangat lelah. Anak tujuh tahun tak seharusnya berada di jalanan. Kembali dipandanginya anak itu, wajah yang sudah berubah karena sering menantang matahari. Hidungnya yang tak mancung, bibirnya yang menghitam, dan ada satu yang selalu terbaca di wajahnya itu: kemauan yang keras, seperti almarhum ayahnya dulu.Mak masih terus menatapnya, wajah keriput itu masih menunduk, sementara benaknya menerawang....
“Rano pengen sekolah, Mak...â€‌
Siang itu terik, seperti biasanya. Terlebih di rumah petak mereka yang sempit. Mak tertegun, ia membiarkan anak kesayangannya itu meneguk air putih di gelas sampai habis,mentari seolah telah menyerap habis energinya.
“Ngamennya dapet berapa, No?â€‌
Seolah tak mendengar pertanyaan Maknya, Rano kembaliberkata, kali ini lirih.“Rano pengen sekolah, Makâ€‌
Maknya menunduk, pandangannya menyusuri lantai rumahmereka yang hanya berlapis semen.“Kenapa tiba-tiba pengen sekolah? Temen-temenmu nggak ada yang sekolah kan?â€‌
“Rano pengen sekolah Makâ€‌
Hening.Akhirnya Rano melanjutkan“Kayak Iqbalâ€‌
“Iqbal? Iqbal yang di komplek itu?â€‌Rano mengangguk. Mak masih menunduk. Apakah ia salahmembiarkan Rano bermain dengan anak orang kaya? Tetapi yang ia minta kan wajar. Sekolah? Ah...
Mak menerawang lagi ke waktu yang lain.
Ia membuka pintu di suatu sore sepulang mengantar cucian. Mak masuk . baru saja ia hendak beranjak untuk mandi ketika dilihatnya selembar kertas polos tergeletak di ataslantai. Saat ia membungkuk untuk mengambiknya, pintu kembali tebuka, Rano masuk. Ia membawa selembar kertasyang sama di tangannya.Setelah Rano duduk, Mak bertanya.“Kertas-kertas itu darimana, No?â€‌
“Beli Mak, dari tempat potokopian seratusan satuâ€‌
“Buat apa?â€‌
“Buat dijadiin buku tulisâ€‌
“Buku tulis?â€‌
Rano mengangguk. Mak meperhatikan Rano yang dengan hati-hati meletakkan selembar kertas itu di atas tumpukkan kertas yang lain, lalu menyimpannya. Dilihatnya pula anakitu menyisihkan sekeping uang recehan dan menyimpannya dikaleng bekas susu, hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.“Buat beli pulpenâ€‌ katanya seolah bisa membaca pikiran Maknya. Rano lalu menyerahkan segennggam uang lain yang ada di saku celana hitamnya ke tangan Mak. Itu adalah hasil jerih payahnya seharian, setelah dipotong jatah preman tentunya. Mak masih ingat waktu itu ia bertanya
“Kamu mau belajar nulis No?â€‌
Namun jawaban Rano membuatnya terdiam
“Rano pengen sekolah, Mak...â€‌
############
“Pengen sekolah? Ha...ha...ha... mimpi loe!â€‌Icang harus berteriak karena suaranya melawan riuh lalulintas yang melintas cepat. Pagi itu mereka bertiga sedang berjalan di bawah jembatan layang, menuju perempatan tempat mereka biasa mencari kepingan kehidupan.
“Biarin!â€‌
Rano menjawab tak kalah kerasnya. Di samping mereka,klakson-klakson kembali menyalak, asap sisa pembakaran kendaraan mengambil kesegaran pagi yang tersisa. Di balik jembatan, mentari yang masih menyembunyikan sebagian wujudnya terlihat tersenyum di mata Rano. Sepanjang jalan ini hingga perempatan di ujung sana, antrean kendaraan merayap pelan.
Ini pagi mereka, sudah biasa.
Tiga anak itu terus berjalan dalam bisu. Tiba diperempatan, ketiganya langsung memburu sebuah angkutankota warna merah yang terjebak lampu merah. Mereka lantas“beraksiâ€‌ seperti biasanya :
Rano menyanyi, Icang bertepuk tangan, Gugun memegang bungkus bekas makanan ringan untuk tempat recehan yang mereka kumpulkan. Angkot pertama, limaratus. Angkot kedua, tiga ratus. Angkot ketiga, nihil.Setiap jam sekali mereka menepi, beristirahat. Di bawah bayang-bayang jembatan layang yang semakin siang semakin memendek, mereka bercengkrama.
(Kita takkan temukan wajah-wajah duka di sana, karena duka telah menjadi teman mereka, memeluk hari-hari mereka.Mereka menjadi sahabatnya, dan tak lagi menganggap duka sebagai musuh. Lihat mata-mata mereka yang polos, dan kita akan mendapati di dalamnya energi kehidupan yang kuat)
Mencari nafkah berlanjut. Satu mobil, dua mobil, sepuluh mobil mereka “hiburâ€‌ hingga surya tepat di atas kepala. Kemudian mereka melepas lelah di bawah jembatan, sebelum pulang.
“No, bener loe mau sekolah?â€‌Rano mengusap keringat di dahinya, dan mengangguk pelan.
“Ngapain sih sekolah segala? Kali ini Gugun.
Rano tak segera menjawab, dibiarkannya kedua sahabat ituterdiam cukup lama.“Gue nggak mau ngamen terus sampe gede, gue pengen pinter"
Kedua sahabatnya terbahak
“Rano..Rano...ngehayak loe! Mana ada gembel kayak kita pinter?â€‌
Kembali sepi
“Udahlah No...ngamen ya ngamen aja, nggak usah sok mausekolah segalaâ€‌
“Iqbal “ lirih Rano
“Kayaknya Seneng kalo bisa sekolah kayak iqbal“
“Iqbal? Iqbal yang di komplek itu? Ya iyalah dia orangkaya, sekolahnya bagus. Kita-kita yang nggak punya duitngimpi deh bisa sekolah di tempat kayak gituâ€‌
Tiba-tiba Rano bangkit, kali ini ia berteriak. Mukanya terlihat marah.
“Emangnya sekolah bagus cuman buat yang punya duit?! Guakan gak milih lahir di kolong jembatan atau di rumahnya si Iqbal. Kenapa iqbal boleh sekolah, tapi gue enggak?!! kenapa???"
Kenapa
Kenapa
Kenapa
Icang dan Gugun terdiam, selain karena tak bisa menjawab "kenapa“ itu, berbicara pada Rano saat dia marah seperti ini adalah tindakan bodoh. Rano mulai berjalan, teman-temannya bangkit.
“Kemana No?â€‌
“Kesekolahnya Iqbalâ€‌
“Ngapain?â€‌
"Ngapain ajaâ€‌
Mereka kembali berjalan. Sementara di sudut sana,tersembunyi di balik tiang, seorang anak yang lebih kecildari mereka tengah duduk sendirian. Ia menoleh kekanan-kiri, lalu wajahnya menunduk,menghisap kaleng yangia genggam: lem aibon . Icang sempat melihat itu dengan sudut matanya, namun tatapannya kembali ke depan, tak hirau.
###########
Icang dan Gugun berpandangan, telah satu jam mereka menunggu di sini. Debu semakin menjadi, mentari masih terik, gurauan para pedagang kakilima sudah tak mereka hiraukan lagi. Mereka haus dan lapar, namun Rano masih saja terus di sana, duduk seperti biasa memandang lurus kedepan.
“No, ayo pulang!â€‌Itu adalah ajakan yang kesebelas.
Rano tak bergeming, ia terus memandang lurus ke sekolah,tenggelam dalam dunianya.
Rano memandang pagar, Ia lalu memejamkan mata, membayangkan suatu pagi dimana iabisa melewatinya, tersenyum , tertawa bersama teman-teman.Memasuki hari yang penuh semangat, keceriaan dan kegembiraan.
Rano membuka mata, melihat tempat bermain. Matanya kembali terpejam, membayangkan betapa bahagianya bila sekali saja ia bisa bermain di sana, mencoba hal-hal baru selain nyanyian pengamen jalanan yang selama ini iakenal. Mungkin disana ia bisa berteriak tanpa ada yangmelarang, siapa tahu?
Rano melihat lagi, kali ini kantin. Makanan di sana pasti enak-enak, ia bisa memilih apa yang ia mau. Rano membayangkan saat istirahat setelah keluar kelas, makan dan bercanda dengan teman-teman, ah...kapan ia bisa merasakannya?
Rano melihat kelas.
Kelasnya, mimpinya, impiannya. Katanya kelas-kelas di sekolah ini bagus. Katanya di dalamnya banyak lukisan yang indah. Katanya bangku dan mejanya enak untuk diduduki dan dipakai. Katanya lantainya putih bersih. Katanya, hanya katanya, karena Rano belum pernah merasakannya. Ia baru mendengar dari orang lain dan berharap suatu saat bisa memasukinya, duduk di atasnya dan belajar.
Belajar.
Ia pernah mendengar Iqbal bercerita bahwa dia dimarahi Papa nya karena tak mau belajar. Rasanya ingin Rano menggantikannya untuk dimarahi. Karena belajar di sekolah adalah impiannya. Rano tertunduk, khayalannya telah habis. Ketika ia menoleh ke arah Gugun dan Icang, mereka telah pergi.
#########
Sebulan kemudian, saat tahun ajaran baru...
Sapu itu ringan menyusuri lantai, mengumpulkan debu yang tersebar, dan membawanya keluar. Mak lalu menyimpan sapuitu di sudut, dan membuka pintu. Pagi menyapa hari,kesegaran hawanya merasuk ke setiap benak para penghuni pemukiman kumuh itu, menyapa orang-orang yang memulai kesibukannya, walaupun sedikit tercampur aroma sungai yang pekat. Lorong-lorong sempit yang terlihat oleh Mak belum berdebu seperti siang hari. Deru kendaraan dari jalan raya terdengar sayup, tenggelam oleh cericit ria burung-burungyang terbang lincah dari atap ke atap. Mak melihat atap rumahnya, sepertinya akan bocor lagi,pikirnya. Namun sebetulnya bukan itu benar yang ia risaukan sekarang, melainkan Rano.
Tiga kilometer dari sana...
Ratusan anak berseragam bersih berbaris rapi di depan kelas masing-masing. Wajah-wajah mereka secerah mentari yang baru saja menyembul dari balik tirai subuh. Semua berceloteh riang: menceritakan liburan mereka yang lalu, membicarakan kelas baru, dan entah apa lagi. Semuagembira menyambut hari baru di sekolah mereka. Rano menatap semuanya dengan pandangan nanar. Ia masih disana, di tempat biasanya. Namun kali ini ia tak duduk, melainkan berdiri mematung. Dan tak seperti biasanya, tangan kanannya menggengam pena-jelmaan uang receh yang ia kumpulkan berhari-hari- sementara tangan kirinya mengenggam tumpukan kertas yang diatukan dan dilipat. Rano menyebutnya buku tulis.
Pikirannya lalu terbang ke subuh tadi.
“Krieeeetâ€‌
Pintu terbuka, tak ada cahaya karena mentari masih bersembunyi di tepi pagi. Perlahan-lahan Rano menutup pintu, lalu melangkah ke luar. Namun tak urung langkah-langkah pelannya terdengar juga oleh Mak.“
Ranoâ€‌
Langkah Rano terhenti, rahangnya mengeras, debar-debar jantungnya seMakin cepat. Pintu kembali terbuka, wajah Mak muncul, menatapnya sesaat.
“Mau kemana?â€‌
Rano menunduk, tak menjawab. Angin pagi menyapa mereka, membelai sepi yang menjadisunyi.
“Sekolahâ€‌
Suara Rano datar, rendah, namun dalam. Ia lalu bebalik,melangkah satu-satu menyusuri gang-gang sempit diantara“rumah-rumahâ€‌ berdinding triplek yang padat.
(Rano tak tahu satu hal. Setelah ia pergi, Maknya masihterus berdiri di pintu, memandanginya, bahkan hingga punggungnya tak terlihat lagi. Lama wajah keriput ituberada di sana, sebelum akhirnya mata tuanya menangis.Satu per satu air matanya turun, menganak sungai dan menjadi deras. Lalu ia masuk kedalam, duduk, dan menumpahkan tangisnya disana)
Buku tulis itu sedikit bergetar, karena tangan Rano yang menggenggamnya juga gemetar. Ia masih terus memandang kehalaman sekolah.Satu persatu murid-murid masuk ke kelasnya masing-masing. Kelas eanm naik ke lantai atas, kelas lima sudah sedari tadi masuk, lalu kelas dua, empat, tiga, didampingi guru mereka.Terakhir kelas satu. Sekarang halaman itu sunyi senyap. Hanya terlihat petugas sekolah yang sedang menyapu. Riuh rendah itu telah pindah ke ruang-ruang kelas yang hampir kedap suara. Namun telingaRano masih dapat menangkap sayup-sayup suara dari sana.Ia masih berdiri.Pandangannya masih lurus ke depan, menyapu segenap bangunan yang berdiri megah dihadapannya. Matanya menatap atap yang terbentang panjang, jendela-jendela yang tersusun rapi, dinding yang bersih dan ia di sini sendiri.
Sendiri.
Tak ada seragam rapi, tak ada sepatu, tak bersekolah.
Satudetik, belasan detik, menit, akhirnya tanpa terasa setengah jam ia berdiri di situ.
“Ranoâ€‌
Ia tak mendengarnya.
“Rano!â€‌
Ia masih tak mendengarnya.
“Rano!â€‌
Akhirnya ia tersentak dari pikiran bawah sadarnya, melihat Icang dan gugun telah berdiri tak jauh darinya.
“Dicari-cari dari tadi, ngapain sih di sini ? Ayo cepetan kita jalan lagi, hari senen angkot biasanyapada penuh, kali aja banyak yang ngasih gope". Rano sama sekali tak menyerap kata-kata "rekan kerjanya" itu. Pun juga ketika Icang menarik lengannya pergi. Pikirannya terus menerawang, batinnya mengemuruh. Mereka lalu berjalan kembali. Pada pagi menuju siang itu, langkah-langkah kecil mereka menapaki jalan aspal yang mulai memanas. Tak seperti kedua temannya yang berjalan begitu cepat, Rano begitu lemas dan gontai sehinga seperti setengah diseret oleh mereka berdua. Berkali-kali ia menoleh ke belakang, hingga akhirnya bangunan sekolah itu tak terlihat lagi. Sambil berjalan itu pikirannya masih menerawang..
Secara tak sengaja Rano melihat tangannya, ia tersentak dan baru tersadar, buku tulisnya yang ia kumpulkan dengan usah-payah selama berminggu-minggu telah terjatuh ketika Icang tadi menariknya pergi.
Rano pun berbalik, berlari, tak hirau dengan teriakanteman-temannya. Ia terus berlari menyusuri jalananberaspal itu, lalu ke jalanan berbatu, kembali ke sekolah.Sesampainya di sana, ia melihat buku itu masih ada disana, namun telah tercecer tak karuan, terserak ke sanakemari. Lalu ia membungkuk, memungutinya satu-persatu,membersihkan debu-debunya, dan mengumpulkannya lagi. Parapedagang memperhatikan dengan pandangan heran, namun Rano takmenyadarinya.Akhirnya ia duduk di sana, menggenggam buku tulisitu, memandang bangunan sekolah lekat-lekat,membisu.Di sebuah halaman dalam kertas-kertas itu seolah terukir sebaris tulisan tangan:
Aku ingin sekolah.
Alhamdulillah....
Cibiru, setelah sakit.
Untuk Rano: teruslah sekolah, langit menunggumu.
 
posted by ibad
Permalink ¤
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Indonesian Muslim Blogger

kirim sms gratizzz

masukin no (pake +62 ya) n ga jamin nyampe ^_^ but cobain aja

Message text (max 140 characters):

nuhun ka www.email2sms.ru

desain oleh pannasmontata-templates.net
foto profil: yogyes.com
bagi yang mau ngirim tulizzan, dipersilakan kirim ke myibad@yahoo.co.id